Wednesday, June 27, 2012
Kota-kota terunik di dunia versi Unesco
Fakta-fakta berikut adalah bentuk keunikan suatu hasil interaksi sosial manusia, dimana tidak hanya sejumlah manusia berkumpul dan beraktivitas, tapi juga memunculkan sejumlah identitas unik yang patut kita simak :
1. Kota dengan wilayah Terluas

Kota dengan wilayah terluas jatuh pada kota Mount Isa yang terletak di barat laut Queensland , Australia . Luasnya mencapai hampir 41 ribu kilometer persegi dengan memiliki jalan raya kota sepanjang 189 km, yang merupakan jalan raya kota terpanjang di dunia.
2. Kota terkecil di dunia

Baik dalam hal ukuran kota maupun jumlah penduduk? Itulah kota Hum yang terletak di Kroasia dengan jumlah penduduk hanya 23 orang. Kota tua ini didirikan pada tahun 1102 yang sebelumnya bernama Cholm, yang masih memiliki arsitektur gedung pada jaman abad pertengahan.
3. Kota tertua dan kota termuda di dunia

Percaya atau tidak bahwa kota tertua dan kota termuda berada di area wilayah yang sama? Buktinya adalah kota tertua di dunia adalah kota Jericho (di Arab disebut Ariha) yang diperkirakan berusia lebih dari 10 ribu tahun.
Sedangkan kota termuda di dunia jatuh pada kota Tel Aviv, yang berusia sekitar 80 tahun. Dan dua kota itu berada dalam wilayah timur tengah yang terus menerus bergolak.
4. Kota Dengan Daratan Paling Tinggi Didunia

kota yang berada di daratan tertinggi dipegang oleh kota Potosi di Bolivia, yang memiliki ketinggian sekitar 4100 meter (13.500 kaki) di atas permukaan laut! Kota ini juga ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia yang harus dilindungi. Selain sebagai kota tertua di dunia, Jericho juga dianggap sebagai kota dengan daratan paling rendah di dunia. Kota tersebut berada 260 meter (853 kaki) di bawah permukaan laut!
5. Kota Terjangkung di dunia

Hong Kong adalah kota dengan julukan kota 'terjangkung' di dunia, karena memiliki sekitar lebih dari 7.500 gedung pencakar langit, lebih banyak dari gedung 'penggaruk langit' yang dimiliki kota New York.
6. Kota pertama yang jumlah penduduknya 1juta orang

Tahukah anda, bahwa kota pertama yang jumlah penduduknya 1 juta orang adalah Roma, Italia, pada 133 SM? Jumlah penduduk di London Inggris, mencapai 1 juta pada tahun 1810, dan New York City , New York di AS mencapainya pada tahun 1875. Kini ada lebih dari 300 kota di dunia dengan penduduk lebih dari 1 juta orang
7. Kota Paling Sering Kena Banjir sedunia, Jakarta

awal mula musik blues
Antara tahun 1861-1865 di Amerika Serikat berkecamuk perang saudara (civil war), yaitu antara pihak utara dan pihak selatan.
Pihak utara yang dipimpin oleh Abraham Lincoln menghendaki perbudakan dihapuskan.
Tentu
saja oleh pihak selatan yang dipimpin kolonel Robert E. Lee ditolak,
karena di daerah selatan banyak terdapat kawasan perkebunan.
Di perkebunan-perkebunan itu dipekerjakan budak-budak belian yang terdiri dari kaum Negro.
Demikian juga keadaan di kebun kapas milik orang Perancis yang terletak di delta sungai Mississippi.
Para
budak belian negro yang kerja paksa di situ dilarang berbicara satu
sama lain, walau pada saat istirahat sekalipun.Tetapi mereka
diperkenankan menyanyi atau berpantun.
Oleh
karenanya pada waktu istirahat mereka bernyanyi dengan pantun sebagai
sarana komunikasi dalam mencurahkan isi hatinya. Mereka bernyanyi silih
berganti, sementara yang lainnya mengiringi dengan bertepuk-tepuk atau
memukul-mukul kayu dan benda lain.
Setahun sekali, orang-orang Perancis itu merayakan hasil paen mereka dengan pesta yang disebut Mardi Grass.
Perayaan itu dimeriahkan oleh marching band.
Sedangkan
suasana kehidupan sehari-harinya, orang-orang Perancis itu sering
memainkan musik tradisional yang mereka bawa dari Eropa yaitu musik
classic pada sore atau malam hari.
Pada
waktu civil war berlangsung, banyak orang Perancis yang mengungsi dan
meninggalkan rumah kediaman mereka beserta isinya. Budak-budak negro
itupun menemukan alat-alat musik yang ditinggalkan tuannya, dan mencoba
memainkan instrument tersebut.
Mereka meniru cara tuan mereka dalam memainkan instrument tersebut, asal bunyi saja.
Tanggal 9 April 1865, Kolonel Lee menandatangani perjanjian.Pihak selatan kalah dan perbudakan dihapuskan.
Selanjutnya,
pada acara pesta mardi grass, para negro itu menari dan
bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan di New Orleans. Gaya nyanyian mereka
kemudian disebut sebagai gaya New Orleans atau blues.
Dengan
berakhirnya civil war dan perang Amerika – Spanyol, banyak alat-alat
marching band milik militer yang diperjual-belikan di toko toko loak.
Para negro itupun banyak yang membelinya.
Mereka memainkan alat-alat tersebut untuk mengiring gaya nyanyi New Orleans ataupun instumental.
Itulah peristiwa yang disebut sebagai lahirnya atau asal mula blues yang juga dikatakan sebagai lahirnya jazz.
Blues
berasal dari kata blue yang artinya sedih. Berdasarkan moment historial
inilah maka dikatakan bahwa jazz adalah manifesto tangis kesedihan kaum
negro yang mendambakan pembebasan dirinya dari perbudakan.
Walaupun pelakunya adalah orang-orang kulit hitam yang berasal dari Afrika, namun jazz bukan musik Afrika.
Jazz
lebih merupakan kreasi kaum hitam di Amerika.Bangsa Afrika hitam memang
mempunyai ikatan perasaan yang kuat dalam kelompoknya.
Banyak kata-kata yang pengucapannya mirip bahkan sama,namun artinya berbeda bila aksennya lain.
Di Amerika, mereka masih berusaha menghidupkan kebudayaan yang mereka bawa dari Afrika.
Sejarah
membuktikan bahwa hingga tahun 1855, di Congo Square, New Orleans,
setiap hari Minggu diadakan pagelaran musik tradisional Afrika kuno.
Perayaan itu mendapat ijin khusus dari pemerintah Amerika.
Awal Mula Musik Reggae
Mungkin diantara para pembaca sudah tidak asing lagi dengan musik reggae, musik yang terkenal di populerkan oleh Bob Marley. Oleh karena itu saya tertarik untuk menulis artikel tentang reggae dan sebagaian isi dari artikel ini saya ambil dari forum kaskus.us.Sekitar tahun 1920-an, orang-orang Kingston Jamaica hidup dalam keadaan miskin dan melarat, mereka ditindas oleh penjajah kulit putih ini menganggap ‘White Imperialisme’ .
Kemunculan falsafah yang dikenali sebagai ‘Back To Africa’ yang dipelopori oleh Marcus Garvey, yang mengajak kaum kulit hitam mengukuhkan kembali kepercayaan mereka terhadap asal-usul nenek moyang mereka. Keyakinan mereka bertambah dan seorang ‘Black African’ bernama Ras Tafari Makonnen telah ditabalkan sebagai Maharaja Ethiopia dengan gelaran Emperor Haile Selassie 1 dan para pengikutnya menggelarkan beliau Rastafarians dan menganggap mereka salah satu daripada 12 puak Israel dan mempercayai Haile Selassie 1 adalah ‘Conquerring Lion of the Tribe of Judah’.
Kepercayaan semasa awal kemunculannya amat radikal berbanding sekarang. Rastafarians membenci golongan kulit putih dan melabel budaya mereka sebagai ‘Babylon’-tidak asli dan tidak ikhlas, tamak dan meterialistik. Kematian Haile Selassie 1 pada tahun 1974 memang tidak disangka oleh Rastafarians, malah ada ynag menuduh kematiannya satu konspirasi media kaum kulit putih. Bagai manapun budaya dan agama ini terus berkembang walaupun maharaja telah tiada. Nama besar yang telah kembangkan Rastafarianisme tahun 1970an adalah Bob Marley.
Pada mulanya muzik golongan Rastafariansme adalah ska dan berubah ke rocksteady dan reggae. Raggae mengekspresikan mereka, serta memprotes ketidakadilan dan penindasan yang dideritai oleh orang-orang Jamaica.Salah satu aspek Rastafarianisne yang dipandang hina adalah penggunaan ganja sebagai salah satu ‘alat utama dalam kehidupan dan upacara keagamaan. Mengenai rambut Dreadlocks ,Rastafarians tidak menggalakkan pengikutnya menyukur, menyikat rambut, atau mengguntingnya seperti dikatakan dalam kitab mereka. Bagi mereka, rambut yang panjang berketul-ketul serta liar tak terurus adalah diibaratkan ‘Lion of Judah’, satu simbol berbentuk kepala singa yang melambangkan kekuatan Haile Selassie 1.
Beliau dikatakan memiliki cincin kepala singa dan beliau telah menyerahkan kepada Bob Marley sebelum kematiannya. Perkataan ‘Dreadlocks’ dipopularkan oleh Bob Marley melalui lagu ‘Natty Locks’. Dari segi warna merah melambangkan Gereja Triumphant atau gereja Rastafarians dan darah mereka, warna kuning melambangkan kekayaan Ethiopia dan warna hijau melambangkan keindahan dan kesuburan tanaman di Ethiopia.
Marcus Garvey yang mempelopori perjuangan kaum negro secara terorganisir dengan membentuk The Universal Negro Improvement Association yaitu organisasi yang membangun kesadaran baru diantara orang-orang asli Jamaika pada tahun 1914 di Jamaika. Berbeda sekali dengan Bob Marley yang telah menyuarakan kaum tertindas dalam lagu-lagunya tanpa ada usaha untuk membentuk organisasi perlawanan.
Sumbangan terbesar dari Bob Marley adalah mempopulerkan kepercayaan Rastafari keseluruh dunia lewat lagu dan musik yang dimainkan. Seandainya Marcus Garvey tidak membentuk organisasi perlawanan, mungkin budaya rambut rasta tidak akan mendunia seperti sekarang. Budaya yang notabene milik kaum hitam yang sering diidentikkan dengan budaya kaum budak sekarang justru dihargai oleh kaum kulit putih bahkan ditiru habis-habisan, dijual keseluruh dunia sebagai komoditi oleh kaum kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Tengok saja dari cara berpakaian, jenis musik yang sering dilantunkan kaum hitam, gaya rambut kaum hitam akhirnya sekarang diadopsi oleh kaum kulit putih yang dahulu merasa yang membuat budaya dunia.
Sejarah gerakan penyadaran identitas kaum kulit hitam, yang kemudian bertemali erat dengan keberadaan musik reggae, mulai disemai pada awal abad ke-20. Adalah Marcus Mosiah Garvey, seorang pendeta dan aktivis kulit hitam Jamaika, yang melontarkan gagasan “Afrika untuk Bangsa Afrika…” dan menyerukan gerakan repatriasi (pemulangan kembali) masyarakat kulit hitam di luar Afrika. Pada tahun 1914, Garvey mendirikan Universal Negro Improvement Association (UNIA), gerakan sosio-religius yang dinilai sebagai gerakan kesadaran identitas baru bagi kaum kulit hitam.
Pada tahun 1916-1922, Garvey meninggalkan Jamaika untuk membangun markas UNIA di Harlem, New York. Konon sampai tahun 1922, UNIA memiliki lebih dari 7 juta orang pengikut. Antara tahun 1928-1930 Garvey kembali ke Jamaika dan terlibat dalam perjuangan politik kaum hitam dan pada tahun 1929 Garvey meramalkan datangnya seorang raja Afrika yang menandai pembebasan ras kulit hitam dari penindasan kaum Babylon (sebutan untuk pemerintah kolonial kulit putih—merujuk pada kisah kitab suci tentang kaum Babylon yang menindas bangsa Israel). Ketika Ras Tafari Makonnen dinobatkan sebagai raja Ethiopia di tahun 1930, yang bergelar HIM Haile Selassie I, para pengikut ajaran Garvey menganggap Ras Tafari sebagai sosok pembebas itu. Mereka juga menganggap Ethiopia sebagai Zion—tanah damai bak surga—bagi kaum kulit hitam di dalam maupun luar Afrika. Ajaran Garvey pun mewujud menjadi religi baru bernama Rastafari dengan Haile Selassie sebagai sosok yang di-tuhan-kan.
Pada bulan April 1966, karena ancaman pertentangan sosial yang melibatkan kaum Rasta, pemerintah Jamaika mengundang HIM Haile Selassie I untuk berkunjung menjumpai penghayat Rastafari. Dia menyampaikan pesan menyediakan tanah di Ethiopia Selatan untuk repatriasi Rasta. Namun Haile Selassie juga menekankan perlunya Rasta untuk membebaskan Jamaika dari penindasan dan ketidak adilan dan menjadikan Rastafari sebagai jalan hidup, sebelum mereka eksodus ke Ethiopia.
Tahun-tahun setelahnya kredo gerakan tersebut makin tersebar luas, yakni “Bersatunya kemanusiaan adalah pesannya, musik adalah modus operandinya, perdamaian di bumi seperti halnya di surga (Zion) adalah tujuannya, memperjuangkan hak adalah caranya dan melenyapkan segala bentuk penindasan fisik dan mental adalah esensi perjuangannya.”
Ketika Bob Marley menjadi pengikut Rastafari di tahun 1967 dan setahun kemudian disusul kelahiran reggae, maka modus operandi penyebaran ajaran Rastafari pun ditemukan: reggae!
Tuesday, June 12, 2012
Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk kegunaan lain dari Jawa, lihat Jawa (disambiguasi).
![]() Topografi Jawa |
|
![]() |
|
Geografi | |
---|---|
Lokasi | Asia Tenggara |
Koordinat | ![]() |
Kepulauan | Kepulauan Sunda Besar |
Luas | 126.700 km² (48.919,1 mil²) |
Ketinggian tertinggi | 3.676 meter (12.060 kaki) |
Puncak tertinggi | Semeru |
Negara | |
Indonesia
|
|
Provinsi | Banten, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta |
Kota terbesar | Jakarta |
Demografi | |
Populasi | 124 juta (per 2005) |
Kepadatan | 979 |
Kelompok etnik | Sunda, Jawa, Tengger, Badui, Osing, Banten, Cirebon, Betawi |
Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Etimologi
Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama.[1] Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".[2] Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal.[2] Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta.[3] Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.[4]Sejarah


Pemandangan Gunung Merbabu
yang dikelilingi persawahan. Topografi vulkanik serta tanah pertanian
yang subur merupakan faktor penting dalam sejarah pulau Jawa.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar.[7] Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.[8]
Masa kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7. Sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina dan India.
Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja. Gajah Mada adalah mahapatih di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.
Masa kerajaan Islam
Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di Jawa, melalui dakwah yang terlebih dahulu dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya. Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.Masa kolonial

Perkebunan teh di Jawa pada masa kolonial Belanda. Sekitar tahun 1926.
Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.[10]
Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.[11]
Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815.[12] Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras.[13] Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah.[14] Pada tahun 1820, terjadi wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.[15]
Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an.[16] Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.[16]
Masa kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat Kebangkitan Nasional Indonesia), dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun.[17]Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.
Geografi
Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2.[18] Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km.[19] Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.[20] Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.
Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan daerah pegunungannya menerima curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan di Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.
Pemerintahan
Secara administratif pulau Jawa terdiri atas enam provinsi:- Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
- Provinsi Banten, dengan ibukota provinsi Kota Serang
- Provinsi Jawa Barat, dengan ibukota provinsi Kota Bandung
- Provinsi Jawa Tengah, dengan ibukota provinsi Kota Semarang
- Provinsi Jawa Timur, dengan ibukota provinsi Kota Surabaya
- Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kota besar
Berikut 10 kota besar di Jawa berdasarkan jumlah populasi tahun 2005.[21]Urutan | Kota, Provinsi | Populasi |
---|---|---|
1 | Jakarta, DKI Jakarta | 8.839.247 |
2 | Surabaya, Jawa Timur | 2.611.506 |
3 | Bandung, Jawa Barat | 2.280.570 |
4 | Bekasi, Jawa Barat | 1.993.478 |
5 | Tangerang, Banten | 1.451.595 |
6 | Semarang, Jawa Tengah | 1.438.733 |
7 | Depok, Jawa Barat | 1.374.903 |
8 | Bogor, Jawa Barat | 891.467 |
9 | Malang, Jawa Timur | 790.356 |
10 | Surakarta, Jawa Tengah | 506.397 |
Demografi
Dengan populasi sebesar 136 juta jiwa[22] Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia.[22] Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km²,[22] pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa.[23] Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km2.[22]Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan hubungan bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan wilayah sekelilingnya sebagai daerah metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia.
Etnis dan budaya
Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini: sentral budaya Jawa (kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (pasisiran) di pantai utara, budaya Sunda (pasundan) di bagian barat, dan budaya Osing (blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang kelima, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa.[24] Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan wilayah asal dari sebagian besar tentara, pebisnis, dan elit politik di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang berlaku di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan masyarakat Jawa.[24] Tanah pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari Banyumas di sebelah barat hingga ke Blitar di sebelah timur.[24]
Jawa merupakan tempat berdirinya banyak kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara,[25] dan karenanya terdapat berbagai karya sastra dari para pengarang Jawa. Salah satunya ialah kisah Ken Arok dan Ken Dedes, yang merupakan kisah anak yatim yang berhasil menjadi raja dan menikahi ratu dari kerajaan Jawa kuno; dan selain itu juga terdapat berbagai terjemahan dari Ramayana dan Mahabharata. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis kontemporer ternama Indonesia, yang banyak menulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika tumbuh dewasa di Jawa, dan ia banyak mengambil unsur-unsur cerita rakyat dan legenda sejarah Jawa ke dalam karangannya.
Bahasa
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek lokal bahasa Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat hubungannya dengan bahasa Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda), bahasa Kangean (erat hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali, dan bahasa Banyumasan.[26] Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka.Agama dan kepercayaan
Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa.[27] Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka.[27] Meskipun kemudian agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota besar, terutama dari kalangan Tionghoa-Indonesia.Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan mungkin para bangsawan.[28] M.C. Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufi-mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha.[29] Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.

Masjid di Pati, Jawa Tengah, di masa kolonial. Mesjid ini menggabungkan gaya tradisional Jawa (atap bertingkat) dengan arsitektur Eropa.
Agama Katolik Roma tiba di Indonesia pada saat kedatangan Portugis dengan perdagangan rempah-rempah.[30] Agama Katolik mulai menyebar di Jawa Tengah ketika Frans van Lith, seorang imam dari Belanda, datang ke Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1896. Kristen Protestan tiba di Indonesia saat dimulainya kolonialisasi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-16. Kebijakan VOC yang melarang penyebaran agama Katolik secara signifikan meningkatkan persentase jumlah penganut Protestan di Indonesia.[31] Komunitas Kristen terutama terdapat di kota-kota besar, meskipun di beberapa daerah di Jawa tengah bagian selatan terdapat pedesaan yang penduduknya memeluk Katolik. Terdapat kasus-kasus intoleransi bernuansa agama yang menimpa umat Katolik dan kelompok Kristen lainnya.[32]
Tahun 1956, Kantor Departemen Agama di Yogyakarta melaporkan bahwa terdapat 63 sekte aliran kepercayaan di Jawa yang tidak termasuk dalam agama-agama resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 35 berada di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat dan 6 di Jawa Timur.[27] Berbagai aliran kepercayaan (juga disebut kejawen atau kebatinan) tersebut, di antaranya yang terkenal adalah Subud, memiliki jumlah anggota yang sulit diperkirakan karena banyak pengikutnya mengidentifikasi diri dengan salah satu agama resmi pula.[33]
Ekonomi
Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, seperti Tarumanagara, Mataram, dan Majapahit, sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya. Jawa terkenal sebagai pengekspor beras sejak zaman dahulu, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan penduduk pulau ini. Perdagangan dengan negara Asia lainnya seperti India dan Cina sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya keramik Cina dari periode tersebut. Jawa juga terlibat dalam perdagangan rempah-rempah Maluku semenjak era Majapahit hingga era Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat administrasinya di Batavia pada abad ke-17, yang kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-18. Selama masa penjajahan, Belanda memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial, seperti tebu, kopi, karet, teh, kina, dan lain-lain. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal ke-19 dan abad ke-20, sehingga nama Java dewasa ini telah menjadi sinonim untuk kopi.Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era Hindia Belanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada sejak zaman kuno dipertautkan dan disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produk-produk komersial dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah memacu pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri, bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni, budaya dan pariwisata. Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa, terutama di sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik, dan Sidoarjo.
Jaringan jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan Soeharto hingga sekarang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Selain jalan tol tersebut, di pulau ini juga terdapat 16 jalan raya nasional.
Pesona Danau Terluas di Asia Tenggara
Kamboja tidak hanya punya Angkor Wat, tetapi juga panorama kehidupan
tepi danau yang memikat. Di tengah-tengah wilayah Kamboja ada sebuah
danau sangat luas bernama Tonle Sap — yang dianggap sebagai kunci sukses
peradaban kuno Angkor berabad silam.
Saat musim kemarau
(November-Mei), ukuran danau Tonle Sap hanya seluas 2.700 km persegi.
Namun di musim penghujan (Juni-Oktober), luasnya menjadi 16 ribu ribu
kilometer persegi, hampir enam kali ukuran aslinya.
Ada banyak
perkampungan tepi danau yang bisa dikunjungi. Salah satu yang paling
mudah diakses dari Siem Reap adalah Kampong Phluk. Selain melihat
kompleks arkeologi Angkor, mengunjungi kampung ini adalah salah satu
kegiatan paling menarik di Siem Reap. Jaraknya hanya sekitar 16
kilometer di selatan Siem Reap, dan bisa dicapai menggunakan tuk-tuk dan
perahu.
Perahu menjadi satu-satunya alat transportasi di Kampong Phluk. Foto: Hairun Fahrudin
Kalau
berkunjung saat musim kemarau, Anda harus melewati jalan tanah yang
permukaannya sangat kasar, lalu menyambung perjalanan dengan perahu.
Ketika musim penghujan, jalur darat yang bisa dilalui jauh lebih pendek.
Dalam musim penghujan ini, jalanan yang biasa dilewati kendaraan
bermotor seluruhnya akan terendam air.
Bentuk rumah yang unik merupakan keunikan tersendiri di desa ini. Foto: Hairun Fahrudin
Posisi
Kampong Phluk sendiri tidak tepat berada di tepi danau, namun berlokasi
di pinggiran kanal yang terhubung dengan Tonle Sap. Jalur air menuju
kampung ini awalnya hanya kanal kecil, tetapi makin mendekati tepi danau
kanalnya semakin lebar. Tepian Tonle Sap dipenuhi dengan hutan bakau,
menjadikan pemandangannya semakin unik.
Kampong Phluk adalah
cerminan kehidupan tepi danau di Kamboja yang sudah ada sejak
berabad-abad lalu. Rumah-rumah penduduknya dibuat model panggung
setinggi sekitar 10 meter, untuk mengantisipasi luapan air saat musim
hujan.
Kampong Phluk sudah memiliki sekolah dan sebuah wihara,
namun belum ada listrik dan fasilitas kesehatan. Penduduk Kampong Phluk
kebanyakan bekerja sebagai nelayan, mereka menangkap ikan dan udang dari
danau. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, sebagian ada yang
beternak ayam dan babi. Kandang ternak dibuat terapung di atas permukaan
air.
Bentuk bagian dalam perahu yang biasa jadi alat transportasi di Kampong Phluk. Foto: Hairun Fahrudin
Setelah
puas melihat-lihat pemukiman warga kampung, Anda bisa meminta pemilik
perahu untuk membawa Anda ke Tonle Sap. Danau yang luas ini mirip laut,
bahkan gelombangnya juga cukup tinggi. Tak butuh waktu lama untuk
melihat Tonle Sap karena atraksi paling menarik sebenarnya ada di
pemukiman tepi danau.
Saat ini makin banyak turis yang
mengunjungi Kampong Phluk, namun berkah industri pariwisata baru
dirasakan segelintir warga saja. Penduduk yang memiliki modal kini
berganti profesi dan membuka restoran terapung dan jasa tur. Para
pengusaha lokal ini lebih makmur, tetapi sebagian besar penduduk kampung
masih hidup miskin.
Kalau punya kesempatan mengunjungi Kampong
Phluk, sebaiknya Anda membawa beberapa buku tulis dan pensil untuk
dihadiahkan pada anak-anak di kampung ini. Bantuan yang tak seberapa ini
sangat besar artinya bagi mereka.
Bob Marley Biography
One of his childhood friends in St. Ann was Neville "Bunny" O'Riley Livingston. Attending the same school, the two shared a love of music. Bunny inspired Bob to learn to play the guitar. Later Livingston's father and Marley's mother became involved, and they all lived together for a time in Kingston, according to Christopher John Farley's Before the Legend: The Rise of Bob Marley.
Arriving in Kingston in the late 1950s, Marley lived in Trench Town, one of the city's poorest neighborhoods. He struggled in poverty, but he found inspiration in the music around him. Trench Town had a number of successful local performers and was considered the Motown of Jamaica. Sounds from the United States also drifted in over the radio and through jukeboxes. Marley liked such artists as Ray Charles, Elvis Presley, Fats Domino, and the Drifters.
Marley and Livingston devoted much of their time to music. Under the guidance of Joe Higgs, Marley worked on improving his singing abilities. He met another student of Higgs, Peter McIntosh (later Peter Tosh) who would play an important role in Marley's career.
The group became quite popular in Jamaica, but they had difficulty making it financially. Braithewaite, Kelso, and Smith left the group. The remaining members drifted a part for a time. Marley went to the United States where his mother was now living. However, before he left, he married Rita Anderson on February 10, 1966.
After eight months, Marley returned to Jamaica. He reunited with Livingston and McIntosh to form the Wailers. Around this time, Marley was exploring his spiritual side and developing a growing interest in the Rastafarian movement. Both religious and political, the Rastafarian movement started in Jamaica in 1930s and drew its beliefs from many sources, including Jamaican-born black nationalist Marcus Garvey, the Old Testament, and their African heritage and culture.
For a time in the late 1960s, Marley worked with pop singer
Johnny Nash. Nash scored a hit with Marley's song, "Stir It Up," around the world. The Wailers also worked with producer Lee Perry during this era and some of their successful songs together included "Trench Town Rock," "Soul Rebel," and "Four Hundred Years."
The Wailers added two new members in 1970 — Aston "Family Man" Barrett on bass and his brother Carlton "Carlie" Barrett on drums. The next year,
Marley spent time with Johnny Nash in Sweden to work on a movie soundtrack.
Before the release of their next album, 1975's Natty Dread, two of the three original Wailers left the group. McIntosh and Livingston decided to pursue solo careers as Peter Tosh and Bunny Wailer respectively. The new album reflected some of the political tensions in Jamaica between the People’s National Party (PNP) and the Jamaica Labour Party (JLP). Violence sometimes erupted because of these conflicts. "Rebel Music (3 O'clock Road Block)" was inspired by Marley's own experience of being stopped by the army late one night before the 1972 national elections. Furthermore, the song "Revolution" was interpreted by some as Marley's endorsement for the PNP.
For their next tour, the remaining group was enhanced by the addition of I-Threes, a group of female vocalists was comprised of Marley's wife Rita, Marcia Griffiths, and Judy Mowatt. Now called Bob Marley & the Wailers, the group toured extensively and helped increase reggae's popularity abroad. In Britain, they scored their first top 40 hit with "No Woman No Cry" in 1975.
Already a much-admired star in his native Jamaica, Marley was on his way to becoming an international music icon. He made the U.S. music charts with the album Rastaman Vibration in 1976. One track stands out as an expression of his devotion to his faith and his interest in political change. The lyrics of "War" were taken from a speech by Haile Selassie, the twentieth-century Ethiopian emperor who is seen as a type of a spiritual leader in the Rastafarian movement. A battle cry for freedom from oppression, the song discusses a new Africa, one without the racial hierarchy enforced by colonial
Living in London, Marley went to work on Exodus (1977). The title track draws an analogy between the biblical story of Moses and the Israelites leaving exile and his own situation. The song also discusses returning to Africa. The concept of Africans and descendents of Africans repatriating their homeland can be linked to the work of Marcus Garvey. Released as a single, "Exodus" was a hit in Britain as were "Waiting in Vain" and "Jammin." The entire album stayed on the charts there for more than a year and is considered to be one of the best albums ever made.
During 1977, Marley had a health scare. He sought treatment in July on a toe he had injured earlier that year. Doctors discovered cancerous cells in his toe, and suggested amputation. Marley refused to have the surgery, saying his religious beliefs prohibited amputation.
Also in 1978, Marley made his first trip to Africa and visited Kenya and Ethiopia. Ethiopia was especially important to him as the place is viewed as the spiritual homeland of Rastafarians. Perhaps inspired by his travels, his next album Survival (1979) was seen as a call for greater unity on the African continent and the end of oppression there. Bob Marley & The Wailers even played in official independence ceremony for the new nation of Zimbabwe in 1980.
A huge international success, Uprising (1980) featured "Could You Be Loved" and "Redemption Song." The pared down folk-sounding "Redemption Song" was an illustration of Marley's talents as a songwriter, crafting poetic lyrics with social and political importance.
The line "emancipate yourselves from mental slavery; none but ourselves can free our minds" is just one example of his artistry.
On tour to support the album, Bob Marley & The Wailers traveled throughout Europe, playing to large crowds. The group also planned a series of concerts in the United States, but the tour soon fell apart. In New York City,
they played two concerts at Madison Square Garden before Marley became ill. It was discovered that the earlier cancer discovered in his toe had spread throughout his body.
Shortly before his death, Marley had received the Order of Merit from the Jamaican government. He had also been awarded the Medal of Peace from the United Nations in 1980. Adored by the people of Jamaica, Marley was given a hero's sendoff. More than 30,000 people paid their respects to him while his body was lying in state at the National Arena. As a part of his memorial service, his wife Rita, Marcia Griffiths, and Judy Mowatt sang and the Wailers played.
Marley's music still remains popular, more than 25 years after his passing. And his musical legacy is being continued by his widow and some of his children. Rita continues to perform with the I-Threes, the Wailers, and the Marley children. Bob Marley fathered at least nine children (reports vary). Sons David "Ziggy" and Stephen and daughters Cedella and Sharon (Rita's daughter from a previous relationship who was adopted by Bob) played for years as Ziggy Marley & the Melody Makers and later as the Melody Makers. Ziggy and Stephen have also had solo successes. Sons Damian "Gong Jr." Ky-Mani, and Julian are also talented recording artists. Some of the other Marley children are involved in related family businesses, such as the Tuff Gong record label, which Marley started in the mid-1960s.
Bob Marley's commitment to fighting oppression is also being carried on by an organization established in his memory. Created by Rita and the Marley family, the Bob Marley Foundation helps people and organizations in the developing world.
Synopsis
Bob Marley was born on February 6, 1945, in St. Ann Parish, Jamaica. In 1963, Marley and his friends formed the Wailing Wailers.The Wailers got their big break in 1972 when they landed a contract with Island Records. Marley has sold more than 20 million records, making him the first international superstar to emerge from the so-called Third World. He died in Miami, Florida, on May 11, 1981.Early Life in Jamaica
Singer, musician, songwriter. Born on February 6, 1945, in Jamaica. Bob Marley helped introduce reggae music to the world and remains one of its most beloved artists to this day. The son of a black teenage mother and much older, later absent white father, he spent his early years in the rural village known as Nine Miles in the parish of St. Ann.One of his childhood friends in St. Ann was Neville "Bunny" O'Riley Livingston. Attending the same school, the two shared a love of music. Bunny inspired Bob to learn to play the guitar. Later Livingston's father and Marley's mother became involved, and they all lived together for a time in Kingston, according to Christopher John Farley's Before the Legend: The Rise of Bob Marley.
Arriving in Kingston in the late 1950s, Marley lived in Trench Town, one of the city's poorest neighborhoods. He struggled in poverty, but he found inspiration in the music around him. Trench Town had a number of successful local performers and was considered the Motown of Jamaica. Sounds from the United States also drifted in over the radio and through jukeboxes. Marley liked such artists as Ray Charles, Elvis Presley, Fats Domino, and the Drifters.
Marley and Livingston devoted much of their time to music. Under the guidance of Joe Higgs, Marley worked on improving his singing abilities. He met another student of Higgs, Peter McIntosh (later Peter Tosh) who would play an important role in Marley's career.
The Wailers
A local record producer, Leslie Kong, liked Marley's vocals and had him record a few singles, the first of which was "Judge Not" released in 1962. While he did not fare well as a solo artist, Marley found some success joining forces with his friends. In 1963, Marley, Livingston, and McIntosh formed the Wailing Wailers. Their first single, "Simmer Down," went to the top of the Jamaican charts in January 1964. By this time, the group also included Junior Braithwaite, Beverly Kelso, and Cherry Smith.The group became quite popular in Jamaica, but they had difficulty making it financially. Braithewaite, Kelso, and Smith left the group. The remaining members drifted a part for a time. Marley went to the United States where his mother was now living. However, before he left, he married Rita Anderson on February 10, 1966.
After eight months, Marley returned to Jamaica. He reunited with Livingston and McIntosh to form the Wailers. Around this time, Marley was exploring his spiritual side and developing a growing interest in the Rastafarian movement. Both religious and political, the Rastafarian movement started in Jamaica in 1930s and drew its beliefs from many sources, including Jamaican-born black nationalist Marcus Garvey, the Old Testament, and their African heritage and culture.
For a time in the late 1960s, Marley worked with pop singer
Johnny Nash. Nash scored a hit with Marley's song, "Stir It Up," around the world. The Wailers also worked with producer Lee Perry during this era and some of their successful songs together included "Trench Town Rock," "Soul Rebel," and "Four Hundred Years."
The Wailers added two new members in 1970 — Aston "Family Man" Barrett on bass and his brother Carlton "Carlie" Barrett on drums. The next year,
Marley spent time with Johnny Nash in Sweden to work on a movie soundtrack.
Big Break
The Wailers got their big break in 1972 when they landed a contract with Island Records, which was started by Chris Blackwell. For the first time, the group hit the studios to record a full album. The result was the critically acclaimed Catch a Fire. To support the record, the Wailers toured Britain and the United States in 1973. They performed as an opening act for Bruce Springsteen and for Sly & the Family Stone. That same year, the Wailers released their next album, Burnin, which featured the song "I Shot the Sheriff." Rock legend Eric Clapton released a cover of the song in 1974, which became a number one hit in the United States.Before the release of their next album, 1975's Natty Dread, two of the three original Wailers left the group. McIntosh and Livingston decided to pursue solo careers as Peter Tosh and Bunny Wailer respectively. The new album reflected some of the political tensions in Jamaica between the People’s National Party (PNP) and the Jamaica Labour Party (JLP). Violence sometimes erupted because of these conflicts. "Rebel Music (3 O'clock Road Block)" was inspired by Marley's own experience of being stopped by the army late one night before the 1972 national elections. Furthermore, the song "Revolution" was interpreted by some as Marley's endorsement for the PNP.
For their next tour, the remaining group was enhanced by the addition of I-Threes, a group of female vocalists was comprised of Marley's wife Rita, Marcia Griffiths, and Judy Mowatt. Now called Bob Marley & the Wailers, the group toured extensively and helped increase reggae's popularity abroad. In Britain, they scored their first top 40 hit with "No Woman No Cry" in 1975.
Already a much-admired star in his native Jamaica, Marley was on his way to becoming an international music icon. He made the U.S. music charts with the album Rastaman Vibration in 1976. One track stands out as an expression of his devotion to his faith and his interest in political change. The lyrics of "War" were taken from a speech by Haile Selassie, the twentieth-century Ethiopian emperor who is seen as a type of a spiritual leader in the Rastafarian movement. A battle cry for freedom from oppression, the song discusses a new Africa, one without the racial hierarchy enforced by colonial
Politics and Assassination Attempt
Back in Jamaica, Marley continued to be seen as a supporter of the People's National Party. And his influence in his native land was seen as a threat to the PNP's rivals. This may have led to the assassination attempt on Marley in 1976. A group of gunmen attacked Marley and the Wailers while they were rehearsing on the night of December 3, 1976, two days before a planned concert in Kingston's National Heroes Park. One bullet struck Marley in the sternum and the bicep and his wife Rita was hit in the head by another bullet. Fortunately, the Marleys were not severely injured, but manager Don Taylor was not as lucky. He was shot five times and underwent surgery to save his life. Despite the attack, Marley still played at the show after much deliberation. The motivation behind the attack was never uncovered, and Marley fled the country the day after the concert.Living in London, Marley went to work on Exodus (1977). The title track draws an analogy between the biblical story of Moses and the Israelites leaving exile and his own situation. The song also discusses returning to Africa. The concept of Africans and descendents of Africans repatriating their homeland can be linked to the work of Marcus Garvey. Released as a single, "Exodus" was a hit in Britain as were "Waiting in Vain" and "Jammin." The entire album stayed on the charts there for more than a year and is considered to be one of the best albums ever made.
During 1977, Marley had a health scare. He sought treatment in July on a toe he had injured earlier that year. Doctors discovered cancerous cells in his toe, and suggested amputation. Marley refused to have the surgery, saying his religious beliefs prohibited amputation.
Redemption Song
At the same time as making Exodus, Marley and the Wailers recorded the songs that were released on another album, Kaya (1978). With love as its theme, the recording featured two hits "Satisfy My Soul" and "Is This Love." That same year, Marley returned to Jamaica to play the One Love Peace Concert and got Prime Minister Michael Manley of the PNP and opposition leader Edward Seaga of the JLP to shake hands on stage.Also in 1978, Marley made his first trip to Africa and visited Kenya and Ethiopia. Ethiopia was especially important to him as the place is viewed as the spiritual homeland of Rastafarians. Perhaps inspired by his travels, his next album Survival (1979) was seen as a call for greater unity on the African continent and the end of oppression there. Bob Marley & The Wailers even played in official independence ceremony for the new nation of Zimbabwe in 1980.
A huge international success, Uprising (1980) featured "Could You Be Loved" and "Redemption Song." The pared down folk-sounding "Redemption Song" was an illustration of Marley's talents as a songwriter, crafting poetic lyrics with social and political importance.
The line "emancipate yourselves from mental slavery; none but ourselves can free our minds" is just one example of his artistry.
On tour to support the album, Bob Marley & The Wailers traveled throughout Europe, playing to large crowds. The group also planned a series of concerts in the United States, but the tour soon fell apart. In New York City,
they played two concerts at Madison Square Garden before Marley became ill. It was discovered that the earlier cancer discovered in his toe had spread throughout his body.
Death and Memorial
Traveling to Europe, Bob Marley underwent unconventional treatment in Germany. He was able to fight off the cancer for months. But as it became clear that he did not have much longer to live, Marley tried to return to his beloved Jamaica one last time. He was not able to finish the journey, dying in Miami, Florida, on May 11, 1981.Shortly before his death, Marley had received the Order of Merit from the Jamaican government. He had also been awarded the Medal of Peace from the United Nations in 1980. Adored by the people of Jamaica, Marley was given a hero's sendoff. More than 30,000 people paid their respects to him while his body was lying in state at the National Arena. As a part of his memorial service, his wife Rita, Marcia Griffiths, and Judy Mowatt sang and the Wailers played.
Legacy
During his lifetime, Marley served as a world ambassador for reggae music. He sold more than 20 million records, making him the first international superstar to emerge from the so-called Third World. In 1994, Marley was inducted into the Rock and Rock Hall of Fame.Marley's music still remains popular, more than 25 years after his passing. And his musical legacy is being continued by his widow and some of his children. Rita continues to perform with the I-Threes, the Wailers, and the Marley children. Bob Marley fathered at least nine children (reports vary). Sons David "Ziggy" and Stephen and daughters Cedella and Sharon (Rita's daughter from a previous relationship who was adopted by Bob) played for years as Ziggy Marley & the Melody Makers and later as the Melody Makers. Ziggy and Stephen have also had solo successes. Sons Damian "Gong Jr." Ky-Mani, and Julian are also talented recording artists. Some of the other Marley children are involved in related family businesses, such as the Tuff Gong record label, which Marley started in the mid-1960s.
Bob Marley's commitment to fighting oppression is also being carried on by an organization established in his memory. Created by Rita and the Marley family, the Bob Marley Foundation helps people and organizations in the developing world.
Subscribe to:
Posts (Atom)